A Y A H

Posted on Sunday, July 20, 2014 by Butterfly Snow Diaries

Ayah, taukah Engkau sejak kecil aku selalu berusaha utk bisa membaca jalan pikiranmu. Nampaknya aku gagal, aku tak punya indera keenam utk melakukan hal itu.
Ayah, taukah Engkau betapa sedihnya hati ini mengingat apa yg ku cari pada dirimu tiada jua ku temukan?? Pedih rasanya, yah.
Ayah, sejak kecil aku punya keinginan sederhana, untuk dapat mengayomi dirimu dalam kehidupanku. Tapi rasanya aku tak dapat menemukan sosok yg dapat ku teladani dari dirimu.
Maaf ayah, jika kata-kataku menyakiti dirimu. Yang ku tahu dalam hidupmu hanya ada kata uang, uang, dan uang. Lagi-lagi hanya uang?? Aku tak tau seberapa istimewanya uang bagi kehidupan ini, ya, memang tanpa uang hidup akan terasa sulit.
Ayah pernah bilang, seluruh hasil jerih payahmu yg kau kumpulkan selama ini demi kebahagiaan kami di masa mendatang. Tapi yg ku lihat kau selalu memarahi ibu jika ia mengurangi tabunganmu utk keperluan sekolahku. Ingin rasanya aku melawanmu, berteriak memaki dirimu untuk membela ibu.
Ayah, sedikit pun kau tak pernah tau seberapa besar biaya yg ku butuhkan selama ku bersekolah. Seragam, alat tulis, sepatu, buku pelajaran, bahkan uang bayaran perbulannya kau tak pernah tau. Ingat, aku tak pernah merasakan sekolah gratis selama ku bersekolah. Beda dengan kawanku, yah. Mereka sempat merasakan itu. Padahal aku sama dengan mereka, bersekolah di sekolah negeri. Bahkan diantara mereka banyak sekali yang berlomba-lomba meminta surat keterangan tidak mampu untuk dapat sekolah gratis. Ingat,, ayah. Ayah, selalu melarangku untuk mengikuti tindakan mereka. Ayah memang benar, kita tidak boleh mengambil hak orang lain. Jauh di bawah kita masih banyak orang yang lebih berhak menerima itu. Tapi ayah, hati ini tersayat pilu saat mendengar ayah membeda-bedakan ibu dengan ibu teman-temanku. Ayah, tau apa?? Mereka bisa membeli hal yang lain, itu karena selain mereka berpenghasilan mungkin lebih tinggi dari ayah, mereka tidak mengeluarkan uang lebih untuk pendidikan. Mengapa aku bicara begitu, yah?? Mereka yang ayah bandingkan dengan ibu mendapat bantuan yah. Rasanya aku ingin berteriak memaki mereka. Menurutku, mereka tidak pantas mendapat bantuan itu. Mereka mampu bahkan berlebih daripada keluargaku.
Taukah Engkau wahai ayahku., ibu selalu berjuang banyak untukku. Ku mohon, hargai ibu. Bukan ibu tak dapat mengatur keadaan keuangan dirimu, tapi kebutuhan keluarga kita semakin hari semakin bertambah. Aku bangga punya ibu, seperti ibuku. Meski jatuh bangun dan selalu kau caci. Tapi ibu selalu berusaha untuk tidak gali lubang dan tutup lubang untuk memenuhi seluruh kebutuhan kita, yah. Ibu bahkan mau berusaha berdagang, meski ia tau bahwa dirinya bukan penjual yang baik.
Ayah, ibu tau kau bukan nahkoda yang baik dalam pelayaran kita. Tapi ibu tak mau mengambil tempatmu, yah. Meskipun ibu tau kau tak pandai menentukan arah yang tepat pada pelayaran kita, ibu tetap menghargaimu sebagai nahkoda kapal kita. Pernah sekali terpikir oleh ibu, untuk mengambil alih tempatmu. Namun, pikiran itu segera ia tepis jauh-jauh.
Ayah, ibu selalu mengajarkanku untuk menghargai imamku nanti. Apapun yang akan ku lakukan imamku harus tau dan bila imamku tak dapat menjadi nahkoda yang baik seperti mu, ayah. jangan pernah terbesit dibenakku untuk mengambil tempatnya, kecuali jika situasi sudah tak terkendali. bagaimanapun imamku adalah pemimpin keluargaku. Tak mungkin ada dua pemimpin dalam sebuah keluarga, begitulah pesan ibu yang selalu terniang dibenakku, yah. Apa ayah mengerti maksudku? Ibu tak ingin mengambil tempat ayah sebagai kepala keluarga meski ayah kurang tegas dan bijaksana dalam mengambil keputusan. Itu sebabnya yah, kapal kita mudah karam. Karena kita tak punya nahkoda yang tangguh.
Ayah, seandainya aku diizinkan untuk dapat berkata jujur padamu. Ingin sekali ku katakan yang sejujurnya padamu. Tentang apa yang ku tutup rapat-rapat dari dirimu, yah. Namun, bibir terkatup rapat saat engkau mengizinkanku. Aku hanya bisa mentatap kaku dan segera mungkin mengalihkan pembicaraan kita.
Ayah, seburuk-buruknya engkau mendidikku. Kau tetap ayahku. Kau tetap yang memenuhi seluruh kebutuhanku. Kau tetap yang pertama kali mengenalkan ku pada dunia. Setelah aku terlepas dari buaian ibu. Kau yang mengajariku untuk dapat berdiri tegak menantang dunia. Meski terkadang kau sendiri yang rapuh.
Ayah, aku tak pandai merangkai kata bahkan memberikan kejutan manis untukmu. Tapi ayah, kau perlu tau bahwa aku sangat berterima kasih akan kehadiranmu disisiku. Meski terkadang aku membenci keberadaanmu. Ya, engkau pasti mengerti yah. betapa tidak sukanya aku ketika kau menjadi alarmku. Mengingatkanku setiap waktu, tanpa lelah dan letih sedikit pun. Bahkan ketika aku beranjak dewasa. Ingin rasanya aku berkata padamu "ayah, kini aku sudah besar. Aku sudah bisa membedakan mana yg baik dan buruk untukku. Walau terkadang seringkali aku ceroboh pada kehidupanku sendiri, tapi aku bosan jika selalu mendapat peringatan darimu. Cukup kau awasi diriku dan bentak aku jika aku benar-benar telah melewati batas terlampau jauh. Ayah, kini aku bukan balitamu lagi. Ku mohon, izinkan aku memilih jalan hidupku sendiri."
Ayah, entah darimana aku harus memulainya. Tapi aku tau, aku harus mengatakan yang sejujurnya padamu. Walau itu akan menyakiti perasaanmu. Sungguh aku tak bermaksud membuka aibmu, yah. Aku hanya berharap agar hubungan kita semakin baik dan aku tidak terus menerus membenci dan memendam rasa kecewa terlalu dalam padamu.
Ayah, betapa kecewanya diriku padamu hingga aku hampir menangis. Ayah, ingat betapa dulu pengetahuan ayah tentang agama kita = NOL besar. Aku sedih, yah. Saat aku beranjak dewasa dikeliling oleh teman-teman dengan latar belakang agama yang jauh lebih baik daripadaku. Meski ayah memasukkanku ke sebuah TPA dan menyuruhku mengikuti pengajian ditempat lain, tapi ku rasa itu tidak cukup. Ayah, aku memimpikan ayah menjadi imam dalam solat pertamaku. Tapi, itu bukan ayah, aku malah tak pernah ingat kapan pertama kali aku menjadi makmum-mu? Rasanya samar, yah. Mungkin engkau memang pernah menjadi imamku, hanya saja aku lupa. Aku hanya manusia biasa yah, tapi yang ku tau pasti usiaku sudah cukup besar ketika itu. Saat dimana engkau mulai berubah, memahami agama yang kau anut sejak kecil. Engkau mulai menjadi alarm pengingatku, ketika waktu solat telah tiba. Mungkin rasanya bosan, namun rasa bosan itu tertutupi oleh kebahagian yang tak bisaku ungkapkan.
Ayah, ingatkah engkau saat aku meminta izinmu untuk menutup auratku?? Ingat yah! 3 tahun, waktu yang panjang untukku meyakinkanmu agar aku diperbolehkan mengenakan jilbab. Ayah, hatiku hancur saat mendapat penolakan yang tidak logis darimu. Tapi sekarang, betapa aku berterima kasih saat engkau tersenyum memandangku mengenakan jilbabku.
Ayah, sungguh hal ini sangat menyakitkan untukku. Bahkan aku merutukki diriku sendiri, mengingat betapa aku mempercayaimu. Jawab aku yah, salahkah aku jika aku mempercayai pendidikanku padamu? Aku buta soal pendidikan yah. Aku masih meraba segalanya. Aku butuh tangan yang menuntunku ke jalan yang tepat yah. Tapi, ayah berkali-kali menamparku. Membuatku menangis menyesali mengapa aku mengikuti pilihanmu? Lihat yah, sifat ayah yang labil membuatku serba salah. Ayah, tau? menjalankan pilihan ayah yang pertama saja sulit buatku. Mengapa ditengah-tengah perjalanan kau hina pilihanmu sendiri? Yah, didunia ini tak ada yang sempurna. jika bisa dan diizinkan untuk meneruskan pendidikanku, maaf yah, aku tak ingin berkonsultasi padamu. Aku tak ingin menemui kebuntuan dan ketidaknyamanan lagi dalam pendidikanku yah. Aku lelah dengan semua itu.
Ayah, aku sadar tak selamanya sifat dan perilakumu buruk buatku. Banyak yang masih bisa ku teladani dari dirimu. Meski point penting pondasi dalam kehidupan kita, tak banyak yang dapat ku contoh darimu. Ayah, aku menyesal kenapa aku tidak bisa mencontohmu. Betapa rajinnya dirimu dalam berpuasa. Puasa ramadhan, puasa syawal, bahkan terkadang puasa senin-kamis kau jarang terlihat absen untuk melewatinya. meski dalam membaca al-qur'an kau sedikit mengalami hambatan. Ayah, jika kau mau berusaha kau pasti bisa. Aku percaya itu. Ku mohon jangan buat hati ini bersedih lagi, melihatmu putus asa sebelum mencoba.
Ayah, mengapa sifat ramahmu tak bisa menurun padaku?? Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk tersenyum dan menebar benih kebaikan, tapi mengapa masih ada keraguan, yah? Terkadang aku masih terlalu takut untuk mulai menyapa, membuka percakapan ringan, atau sekedar menawarkan bantuan. Aku memang tak pandai bersosialisasi, yah.
Ayah, kau hebat dalam mengatur keuangan. Sedangkan aku, selalu besar pasak daripada tiang. Bisakah yah, kau ajarkan aku dalam hal ini? Tapi aku tidak mau terlihat seperti orang pelit atau kikir terhadap sesama. Aku tetap ingin menjadi orang dermawan yang masih dapat mengontrol keuanganku.
Ayah, sekali lagi aku minta maaf. Aku sadar tak ada manusia yang sempurna. Kekuranganmu seharusnya dapat ku terima, mungkin aku masih harus menyelami kehidupan ini jauh lebih dalam agar aku menyadari betapa kekuranganmu itu menjadi anugerah terindah yang ku miliki. Aku hanya mendamba seorang ayah yang tegas lagi bijaksana dalam membimbingku dan tetap berpedoman pada kepercayaan kami.
Ayah, aku bangga menjadi anakmu dengan segala kekurangan yang kau miliki. Tapi, ayah. Buatku engkau Ayah terhebat yang ku miliki. Terima kasih untuk segalanya ayah. Maaf jika terkadang aku membencimu, engkau perlu tau aku selalu merasa kehilangan dirimu jika kau tak disampingku. Memang terdengar klise, tapi itulah perasaanku. Ayah, tetaplah hidup dengan baik agar kau tetap dapat menjadi alarm dan polisiku disetiap waktu. 'Siap komandan!'