Tulusnya Kasihmu

Posted on Monday, September 27, 2010 by Butterfly Snow Diaries

Seorang ibu adalah seseorang yang dapat menggantikan siapa pun tetapi tak dapat di gantikan oleh siapa pun. (Kardinal Mermillod)

Ya, itulah Ibu. Kasih sayang yang Ibu berikan melebihi rasa cintanya kepada dirinya sendiri. Ibu memberi tanpa pernah mengharap tuk terbalaskan. Cintanya yang begitu murni membuatku tak sanggup membencinya. Walau ku tau Ibu sering berbohong, yang terbesit di hati hanyalah perasaan pilu. Pilu rasanya melihat Ibu harus berjuang melawan kerasnya kehidupan.

Himpitan ekonomi yang menjerat keluargaku membuat Ibu sering kali berbohong kepada kami. Tiap hari Ibu berjuang memutar uang yang bapak berikan.

Kebutuhan sekolahku hampir memakan seperempat gaji bapak., mau tak mau Ibu membuka usaha kecil-kecilan dengan berjualan. Usaha Ibu tak selalu berjalan lancar. Ada kalanya Ibu mengalami hambatan. Belum lagi terkadang Ibu mengalami kerugian yang cukup besar. Yah.., sistem dagang yang di terapkan Ibu hanya memberinya keuntungan yang sedikit. Benar-benar tak sebanding dengan perjuangan yang Ia lakukan. Belum lagi para pembeli yang harus di hadapi Ibu. Tak jarang dari mereka yang sering menghambat usaha Ibu. Banyak para pembeli yang hanya dapat mengobral janji. Hal ini tentu saja mempengaruhi perputaran modal dalam usaha Ibu.

Walau pun Ibu sering di bohongi oleh para pembelinya, Ibuku tetap saja berjiwa besar. Katanya "biarkan ini menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menegur mereka. Ibu akan mencoba mengikhlaskan semua." Oh... Ibu, betapa lembutnya hatimu. Di tengah kekesalanmu Engkau tetap dapat mengajarkan kami untuk tak membenci.

Aku tau begitu banyak beban yang harus kau pikul. Tapi kau tetap memprioritaskan kebutuhan kami. Walau dalam keadaan mendesak, Ibu tetap memenuhi permintaanku. Permintaan yang menurutku tak sepenting di bandingkan apa yang harus Ibu beli saat itu. Tapi dengan rela Ibu memilih untuk memenuhi keinginanku. Terkadang tanpa aku sadari Ibu pun pernah meminjam uang hanya untuk memenuhi permintaanku.

Seringkali Ibu bertengkar dengan Bapak. Hanya demi membela kami, anak-anaknya. Tak jarang pertengkarannya dengan suami yang ia cintai membuat Ibu tak sanggup lagi menahan air mata. Semua Ibu tumpahkan dalam do'anya. Memohon kepada Illahi agar ia bisa menghadapi cobaan ini dengan hati yang lapang. Sering kali aku mendekat berusaha menyeka air mata Ibu, tapi sebelum sempat Ibu telah menghapusnya dan mengubahnya menjadi sebuah senyuman. Senyuman yang mampu menghapuskan kekhawatiranku.

Setiap kali aku bertanya padanya, "Masalah apa yang membuat Ibu bersedih?" dengan bijak Ibu menjawab, "Bukan apa-apa sayang, gak usah di pikirkan ya. . . Ini biar jadi tanggung jawab Ibu. Tugas kamu hanyalah belajar." Oh. , Ibu. Apakah semua ibu akan berkata seperti Ibu? Ya. . Tentu saja. Seorang Ibu tak khan membiarkan anaknya larut dalam kesedihan yang ia hadapi.
Ibu, tulus kasihmu begitu murni. Engkau tak pernah memilih-milih dalam mencurahkan kasih sayangmu. Kau besarkan buah hatimu dengan rasa cinta. Engkau tak pernah mengeluh walau terkadang anakmu sering mengecewakanmu. Memancing emosimu dikala kau mengasuh mereka. Namum, dengan sabar kau tetap membimbing mereka. Yang terpenting bagimu jika dapat melihat mereka tumbuh besar dan menjadi orang yang berguna.

Tangis, tawa, dan gurauan mereka adalah pelipur lara buatmu. Ibu selalu tersenyum melihat perkembangan buah hatinya. Ibu tak pernah menjadikan kami sebagai beban kehidupannya. Buatnya kami adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan untuknya. Untuk itu dengan segenap jiwanya Ibu akan berusaha menjaga apa yang Tuhan titipkan kepadanya.
Ibu. . . Kasih sayangmu tak khan mampu tergantikan. Ku ingat saat kau berjuang agar aku bisa sekolah di tempat yang aku inginkan. Kau tak peduli dengan harga dirimu. Kau perjuangkan aku agar dapat masuk ke sekolah itu.

Ibu. . . Ku ingat sekali dikala siang malam tiada hentinya kau menjagaku yang sedang terlelap. Hampir setiap saat kau mengecek suhu tubuhku yang tidak juga turun. Bahkan engkau terus berjuang agar aku mau makan dan berganti pakaian. Tiada lelah kau mondar-mandir, hanya untuk membuatkan ku bubur dan melihat ku memakannya di ruangan yang sempit dan bau infus itu. Berulang kali aku mengeluh merasa bosan berada di Rumah Sakit, namun Ibu dengan sabar menghiburku. Terlihat sekali wajah Ibu yang kelelahan, tapi Ibu selalu punya cara untuk mengelabuiku.

Ibu. . . tiada hentinya kau mengingatkanku agar tak lupa makan dan solat 5 waktu. Kau juga selalu mengajariku untuk dapat melihat segala sesuatu dari dua sisi yang berbeda. Peranmu sebagai Ibu sangat membantuku dalam memilih tujuan hidup. Peranmu sebagai seorang sahabat, mampu membuatku nyaman dan menemukan solusi yang tepat untuk setiap permasalahan hidupku.

Ingin rasanya membalas jasa-jasamu yang tak terhitung jumlahnya. Entah apa yang bisa ku berikan untuk membalas semua itu? Rasanya apa pun yang ada di dunia ini tak mampu membalas kasih sayangmu yang tiada tara. Hanya Allah yang bisa membalas semua pengorbananmu. Aku sendiri akan terus berjuang agar engkau mendapatkan tiket ke syurga. Tempat yang amat di rindukan sethap umat di dunia. Ibu. . . mari kita berjuang agar dapat menjadi penghuni syurga.

Sindiran serta nasihatmu selalu menjadi semangat dalam hidupku. Ibu . . , terima kasih untuk semuanya. Terima kasih atas semangatmu yang luar biasa. Yang kau tularkan kepadaku lewat kata-katamu yang tegas. Ibu . . , aku sungguh bersyukur punya ibu yang selalu menyayangiku sepenuh hati. Buatku tulusnya kasihmu tak khan mampu tergantikan oleh siapa pun. Karena engkaulah sandaran bagiku, tempat bernaung dalam suka maupun dukaku.
Terima kasih Ibu. . . . .

Kandasnya Harapan Bunda

Posted on Thursday, September 16, 2010 by Butterfly Snow Diaries

Hari ini matahari bersinar sangat terik. Clara baru saja tiba di rumah. Rasa lapar dan dahaga membuat Clara mempercepat langkahnya untuk segera mengganti seragam sekolah dan bergegas menuju dapur. Di dapur, Clara bertemu dengan Bundanya. Bunda sedang menyiapkan makanan untuk di makan Clara dan keluarganya nanti malam.

"Bund, bulan ini teman Rara ulang tahun. Kira-kira kado apa ya yang murah tapi bermanfaat? Rara sama teman-teman yang lain patungan buat beli kue dan kado, tapi sampai sekarang belum tau mau ngasih kado apa?" Ucap Clara panjang lebar.

Bunda hanya diam saja dan terus sibuk dengan masakannya.

"Bund, Rara nanya! Kok di cuekin sih?" Ujar Clara kesal.

"Ya, kamu sih nanya gak liat sitkon. Liat gak sih Bunda lagi apa? Bukannya bantuin malah nanya yang enggak-enggak." Sahut Bunda dengan nada yang sedikit lebih tinggi dari biasanya.

"Ye... Aku khan cuma minta saran, kalo Bunda gak mau jawab ya udah." Ujar Clara dan segera bangkit dari tempat duduknya.

"Cari aja benda yang kira-kira teman kamu suka." Ujar Bunda kepada Clara yang telah meninggalkan dapur.

Hari silih berganti, Clara masih saja di sibukkan dengan acara suprise party yang ia buat bersama temannya. Mereka masih belum bisa menemukan kado yang tepat untuk sahabat mereka. Padahal tinggal satu minggu lagi acara yang dinanti akan tiba. Dalam keputusasaannya Clara datang menemui Bunda. Ia menceritakan segala keluh kesahnya. Clara sangat berharap Bunda bisa membantunya. Namun sayang, reaksi Bunda tetap sama seperti sebelumnya. Pembicaraan mereka selalu berakhir dengan adu mulut. Walau Bunda sempat terpancing emosi, Bunda tetap masih bisa meredamnya. Akhirnya Bunda mengalah dengan Clara.

Beliau hanya dapat berkata, "yang lebih kenal dengan temanmu itu kamu, Rara. Bunda gak bisa bantu kamu. Semua keputusan ada di tangan kamu. Pilihlah benda yang kira-kira bermanfaat. Kalo kamu mau ambil aja di toko Rapi. Siapa tau di situ ada yang cocok dan lebih murah." Clara sangat senang mendengar nasihat Bundanya. Ia pun telah mendapatkan ide yang tepat untuk kado sahabatnya itu.

Sementara itu, Bunda hanya dapat memandangi wajah anaknya. Sering terlintas dipikirannya anak sulungnya itu tidak sayang kepada dirinya. Clara memang berbeda dengan adiknya. Ia tak pernah memberikan kado untuk kedua orang tuanya. Bahkan Clara hampir tak pernah mengucapkan terima kasih kepada Bunda yang setiap saat selalu berada di sampingnya.

Bunda hanya bisa tersenyum pahit melihat putri sulungnya. Clara memang jauh dari harapan Bunda. Sebenarnya keingan Bunda sangat sederhana. Ia hanya ingin putri sulungnya itu menyayangi keluarganya dan relalu mengutamakan keluarga seperti saat dia mengutamakan sahabatnya. Bunda juga ingin Clara rajin beribadah, karena hanya bekal agama yang bisa Bunda wariskan kepadanya. Namun sayang, Clara sangat jauh dari hal ini. Clara hanya rajin beribadah di saat ia mau, di saat tidak terkadang ia pun lupa kepada Tuhannya. Bahkan Clara sangat tidak peduli dengan keadaan Bundanya. Saat Bunda sakit tak jarang Clara menolak permintaan Bunda untuk membantunya. Sebisa mungkin Bunda menyembunyikan rasa kecewanya. Bunda selalu memohon kepada Tuhan agar Clara mendapatkan apa yang terbaik baginya dan kembali menjadi Clara yang dulu, Clara sewaktu kecil yang patuh dan rajin beribadah.

Sementara waktu terus berputar, Clara masih saja di sibukkan dengan hal yang sama. Hari ini sebagian waktu Clara tersita hanya untuk membungkus kado. Ya.. Clara memang belum ahli dalam membungkus kado, tapi apa boleh buat teman-teman yang lain pun tak ada yang bisa?

"Ra, bisa bantu Bunda? Tolong belikan gula diwarung dong. Bunda lagi tanggung nih." Ujar Bunda mengagetkan Clara.

"Akh, Bunda.. Clara khan masih sibuk bungkus kado. Adik aja tuh." Sahut Clara agak malas.

Bunda menghelas nafas panjang. "Dik. . . " Ujar Bunda melirik Cha-cha, adik Clara.

"Yah., kok aku sih." Keluh Cha-cha, "masa kak Clara gak pernah mau disuruh." Cha-cha pun segera mengambil uang yang diberikan Bunda dan bergegas pergi ke warung.

"Ye.. Biarin aja sih. Syirik aja jadi orang." Teriak Clara mengiringi kepergian adiknya.

"Kamu ini . . Gak ada sayangnya sama orang tua. Masih mending adik kamu."

"Terus aja apa-apa adik mulu. Apa bagusnya sih tu orang?" Potong Clara.

"Ya jelaslah. Coba kamu dari tadi ngapain aja? Bungkus kado gak selesai-selesai. Istirahat dulu kek, kalo gak bantuin Bunda. Dari tadi Bunda sibuk, kamu cuma bungkus kado aja gak kelar-kelar dari pagi. Sini biar Bunda yang bungkusin. Sana kamu cuci tuh piring kotor." Ujar Bunda sebisa mungkin masih menutupi emosinya.

"Gak usah,udah biar Rara aja yang bungkus. Nyuci piringnya entar aja kalo udah selesai ngebungkus." Ucap Clara ketus, seraya menunjukan sikapnya yang enggan mencuci piring.

"Entar. . Entar. . Entar , setiap disuruh bilangnya itu terus. Akhirnya gak di kerjain juga khan?"

"Udah tau nanya, masih nyuruh lagi." Gerutu Clara yang jelas sekali di dengar Bundanya.

"Kamu tuh bener-bener ya, gak ada rasa sayangnya sama orang tua. Apa-apa temen mulu, buat kamu teman ya yang lebih penting daripada Bunda kamu sendiri." Ujar Bunda tak bisa menahan emosinya lagi.

Clara tetap saja tak memperhatikan ekspresi Bundanya itu dan masih terus sibuk dengan kado yang harus ia serahkan besok.

"Kamu ini benar-benar ya. . . " Ungkap Bunda tak sabar lagi dengan putri sulungnya itu.

Bunda pun segera pergi meninggalkan Clara. Beliau pergi di ikuti dengan kekecewaan yang mendalam. Clara tumbuh menjadi seorang remaja yang tidak ia harapkan. Clara benar-benar telah membuat batin Bunda menanggis. Namun, sedikit pun rasa sayang Bunda tak pernah berkurang untuknya.

Hati Bunda sedang berduka. Tapi hati Clara malah sedang senang sekali. Clara senang telah berhasil membungkus kado dengan baik. Ia pun tersenyum puas melihat hasil karyanya. Selesai membereskan kertas-kertas yang berserakan, Clara segera beranjak menuju dapur. Di tengoknya tempat cucian piring yang kini telah kosong. Ternyata Bunda sudah mencuci piring kotor itu. Clara pun pergi meninggalkan dapur. Kemudian disetelnya tv. Sebenarnya Clara tak begitu suka dengan acara tv, tapi ia tak punya pilihan lain untuk mengisi waktunya yang kosong. Dari kejauhan, Bunda hanya melirik anaknya. Ia tau apa yang tadi ia katakan tak akan mempengaruhi putrinya.

Siang itu sepulang sekolah, Clara melihat Bunda terbaring di tempat tidurnya. Rasa khawatir pun menyelimuti perasaan Clara. Entah mengapa akhir-akhir ini Bunda sering sakit. Mungkin Bunda kecapekan karena harus mengurus keluarga dan usaha jualan kecil-kecilan. Tiap hari Bunda harus pergi membeli barang dagangan dan keliling menjajakannya. Semua Bunda lakuin demi membantu penghasilan ayah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara Clara dan Cha-cha masih butuh uang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tak heran jika Bunda sangat lelah.

Sebenarnya Clara sangat khawatir dengan keadaan Bunda. Sudah berulang kali ia memperingatkan Bunda agar tidak memaksakan dirinya. Namun, Bunda masih saja nekat. Sesekali Clara membantu Bunda membereskan rumah, tapi bukanya berterimakasih Clara malah mendapat sindiran. Clara kesal mendengarnya, setiap usaha yang ia lakukan tak pernah di hargai kedua orang tuanya. Bahkan terkadang mereka menyuruh Clara mengulangi tugas yang baru saja ia kerjalan. Sangat menyebalkan. Makanya Clara suka malas bila disuruh. Seperti saat ini, Bunda menyuruh Clara untuk membeli obat maag dan beberapa Gery Chocolatos dan Wafelatos untuk cemilannya. Namun, Clara tak mau. Ia malah melemparkan perintah Bunda ke adiknya. Bunda yang mendengar hal itu tentu saja marah. Ia tau percuma ia melontarkan kata-kata kasar kepada anaknya. Ibaratnya batu mungkin hati anaknya sekeras itu, jadi tiada guna ia berkata demikian.

Semenjak kejadian itu, Bunda sering sekali menyindir Clara. Mulai dari Clara yang gak peduli sama orang sampai Clara yang gak sayang sama orang tuanya. Ya., mungkin Clara biasa bepura-pura tak mendengar perkataan Bundanya itu. Tapi, batin Clara menangis melihat orang yang amat ia sayang berkata demikian. Menganggap dirinya lebih peduli dengan teman di banding keluarganya. Sebenarnya Clara udah punya resolusi di tahun ini, ia ingin rajin beribadah dan memberikan kado untuk Bunda sebagai ucapan terima kasihnya. Resolusi Clara sebagian tercapai, tapi reaksi Bunda tetap sama. Bunda malah berkata bahwa dirinya sudah tau dengan apa yang Clara lakuin, dia cuma kepengen Clara membelikannya daster bukan kue tar. Lagi pula walau Clara memberikannya kado Beliau akan tetap memandang Clara sebagai anak yang gak peduli. Karena Clara jarang sekali memperhatikan keadaan sekitarnya.

Hati Clara terasa sakit mendengar pernyataan Bunda. Dia akui ia memang jarang memperhatikan orang dengan sangat serius. Tapi bukan berarti dia gak mendengarkan apa yang orang itu bicarakan. Itulah Clara apa yang ada di hatinya akan berbeda dengan yang di lihat orang di luar. Walau Bunda tetap menghakimi dirinya sebagai anak yang gak peduli dengan keluarganya, Clara akan tetap berjuang memperbaiki dirinya.

0h ya, sejujurnya Bunda sangat senang melihat anaknya memberikan kejutan di hari ulang tahunnya. Buat Bunda apa pun yang Clara berikan punya makna yang lebih. Bentuk perhatian seorang anak yang ia kenal berhati dingin. Tapi Bunda gak mau nunjukin eksperesi senangnya, karena menurut Bunda apa yang Clara lakuin masih jauh dari yang ia harapkan.

Siang itu Clara sedang membaca novel "Surat Kecil untuk Tuhan". Tiba-tiba Bunda duduk di sampingnya. Dari raut wajahnya dapat di terka ia sedang menghadapi masalah. Benar saja dalam hitungan detik Bunda sudah mulai bercerita. Demi menghargai perasaan Bunda, Clara segera menutup novel yang sedang di bacanya. Di perhatikannya raut wajah Bunda yang terlihat sayu. Ternyata keadaan ekonomi yang semakin sulit menjadi bebannya saat ini. Clara ingin sekali membantu. Namun, ia belum memiliki penghasilan sendiri. Clara teringat dengan uang yang dikumpulkannya akhir-akhir ini. Clara pun bertekad untuk memberikannya. Uang yang dikumpulkan Clara tidak seberapa tapi cukuplah untuk membantu. Cara Clara memberikan pun berbeda. Ia bilang kepada Bundanya ia nitip uang karena takut uangnya ke pake nanti kalo dia perlu, ia ambil. Ya., tapi Clara gak mungkin mengambil uang itu. Uang yang ia berikan tak seimbang dengan biaya hidup yang Bunda keluarkan untuknya. Untuk itu ia sudah bertekad untuk tak memintanya. Lagipula pengorbanan yang Bunda lakuin gak sebanding dengan apa pun yang ada di dunia ini.

Bunda mengakhiri ceritanya dengan meninggalkan pesan untuk Clara. Sebagai anak tertua Clara akan menjadi tulang pulang keluarga. Dia yang akan menggantikan beban orang tuanya saat ini. Untuk itu Clara harus sekolah yang tinggi. Jangan mau di bodohin zaman. Sekarang zaman emansipasi wanita, Clara gak boleh kalah dengn suaminya kelak. Jangan mau di tindas cowok, tapi Clara juga tidak boleh melupakan kodratnya sebagai wanita. Pesan itu begitu sederhana namun tak mudah tuk di hapus dari ingatan Clara.

Waktu terus bergulir, siang itu saat di sekolah Clara mendapat telepon dari ayah. Ayah mengabarkan Bunda masuk rumah sakit. Tentu saja Clara sangat terkejut. Setau Clara Bunda tak punya penyakit yang membahayakan. Maka ketika bel pulang berdentang, Clara segera melesat keluar sekolah dan mengambil langkah seribu agar ia cepat tiba ke rumah sakit. Sesampainya di sana, alangkah terkejutnya ia karena Bunda harus menjalani pengobatan di ruang ICU. Sejak tadi Bunda belum sadarkan diri. Seketika air mata Clara tumpah, ia benar-benar putus asa. Ia takut belum bisa mewujudkan keinginan Bunda. Ia takut ia belum bisa jadi seperti apa yang Bunda mau.

Semenjak Bunda masuk rumah sakit tugas rumah di ambil alih oleh Clara. Awalnya ia merasa sangat lelah dengan tugas barunya itu. Terlebih Clara hampir tidak pernah membantu pekerjaan Bunda. Namun, perlahan Clara sadar. Betapa sulitnya menjadi seorang Ibu yang harus mengurus rumah dan keluarga. Clara merasa sangat sedih setiap kali ia ingat kejadian masa lalu. Saat dimana Clara melawan perintah Bundanya. Kini Clara merasakan masa-masa yang tiap hari di lalui Bundanya. Perlahan Clara mulai berubah. Ia tak pernah mengeluh dengan tugas barunya dan ia pun tak lagi meninggalkan perintah dari Tuhannya.

Tiada terasa sudah 2 bulan Bunda terkapar di ruang ICU. Clara tak tau apa penyakit Bunda karena ayahnya tak ingin memberi tahu Clara. Hari ini perasaan Clara benar-benar tak nyaman. Clara hanya bisa memohon kepada Tuhan agar tidak terjadi apa-apa. Dengan langkah gontai Clara menyusuri lorong-lorong di rumah sakit menuju tempat perawatan Bundanya. Ia pun segera duduk di samping Bunda dan adiknya. Dengan tatapan kosong Clara memandangi wajah Bunda lekat-lekat.

"Bund, ayo dong bangun. Rara kangen sama Bunda. Rara masih pengen dengar nasihat-nasihat Bunda. Pengen deh minum teh sambil ngobrol berdua aja. Bunda tau.. Clara pengen banget nunjukin ke Bunda. Clara udah bisa ngurus rumah dan gak lupa lagi buat beribadah. Rara janji kalo Bunda bangun, Rara bakal bantuin Bunda ngeberesin rumah. Ayo dong bund.., bangun!!" Bisik Clara lembut.

"Iya bund, kak Rara udah berubah kok. Sekarang kak Rara banyak bantuin Cha-cha. Aku sama kakak juga udah gak pernah berantem lagi. Sekarang kita sering bahu-membahu dalam ngerjain sesuatu. Ayo bund, sadar!! Aku kangen sama Bunda.." Ujar Cha-cha sambil menatap Clara dan Bundanya dengan sedih.

"Bund, Rara minta maaf kalo selama ini Rara udah ngecewain Bunda. Rara sayang banget sama Bunda. Ayolah bund bangun, Rara pengen banget kita bisa hidup kaya dulu lagi, dengan keluarga yang lengkap dan tentunya sekarang lebih harmonis lagi." Dikecupnya kening Bunda dengan penuh rasa sayang.

Tiba-tiba alat pacu jantung mendatar, menandakan bahwa Bunda telah pergi. Clara segera memanggil dokter dan ayahnya. Dokter pun segera memeriksa kondisi Bunda. Saat itu akhirnya tiba juga, saat dokter mengatakan bahwa Bunda telah kembali kepangkuan-Nya. Bunda pergi tanpa sempat melihat perubahan Clara. Walau Bunda pergi nasihat-nasihatnya akan selalu terkenang di hati Clara. Clara berjanji akan selalu menyayangi keluarganya dengan sepenuh hati.

"Oh. . . Ibu, semoga Tuhan memberikan kedamaian dalam hidupmu. Putih kasihmu khan abadi dalam hidupku. . (Do'a untuk Ibu - Ungu) " Bisik Clara lirih hingga nyaris tak terdengar. Clara menatap pilu sebelum ia pergi meninggalkan tempat peristirahatan Bundanya yang terakhir kali.

The end_

nb:
Cerita ini hanyalah karangan belaka. Bila ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan kejadian itu hanyalah kebetulan semata..

Created : _YEP_