Ku berdiri diam
menatapmu terpaku. Seolah tak percaya kau berdiri dihadapanku. Sekian detik
waktu terasa diam membisu, hingga kau tersenyum manis menyapaku. Kau ulurkan
tanganmu yang ku sambut dengan ragu. Aku begitu kikuk berhadapan denganmu. Sesaat
aku tampak seperti orang bodoh. Tergagap menanggapi pertanyaanmu. Ya, aku
memang bodoh hanya dapat menjawab singkat pertanyaanmu tanpa sempat melontarkan
pertanyaan kembali. Meski dihatiku terdapat begitu banyak tanya akan dirimu, aku tetap tak mampu berkata.
Diam. Tetap diam terpaku menatap dirimu.
Menatapmu aku seakan
mengerti. Sepertinya kau sengaja menciptakan jarak terhadapku. Ku perhatikan
tingkahmu dengan seksama, meski senyummu tulus saat menyapaku. Setelah itu kau
terlihat kaku. Kau terlihat serba salah ketika aku menyadari tingkahmu dan
dengan segera kau ambil langkah seribu. Meninggalkanku dalam bingung yang tiada
berujung.
Apa salahku hingga kau
harus menjauh? Aku tak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Terakhir kau
bersikap hangat padaku adaah ketika temanku berkata aku menyukai dirimu. Hei,
kau tau itu hanya gurauan masa kecil. Aku tidak bodoh untuk tau siapa kamu? Dan
siapa diriku? Kita tak mungkin bisa bersama bukan? Lagipula aku menyayangimu
sebagai kakakku. Rasanya bodoh jika perasaaan cinta benar-benar bersemi dihati.
Jika itu terjadi aku akan segera memangkasnya sampai mati.
Seandainya saat itu aku
bisa menjelaskan semua padamu. Mungkinkah kita tak kan seperti ini? Atau memang
takdir mengharuskan kita hanya sampai segini? Kakak.. rasanya aku ingin sekali
memanggilmu dengan sebutan itu. Aku ingin sekali punya sosok seorang kakak.
Menjadi anak pertama dikeluarga rasanya sulit. Setidaknya untuk menjadi panutan
adikku, aku harus berilmu. Tak ada tempat bersandar kala hatiku rapuh, tak ada
tempat bernaung kala hatiku sedang gundah, tak ada perisai yang ampuh kala aku
terjatuh. Tapi bersamamu aku merasa menjadi seorang adik. Bebanku jauh lebih
ringan walau hanya sesaat.
Buatku, kau sangat
berarti. Sedih melihat sosokmu semakin lama semakin hilang dari kehidupanku.
Kau ingat betapa dulu aku selalu mengekor dibelakangmu. Meski begitu kau tak
marah dengan kehadiranku. Kau dengan sabar menjelaskan apa pun yang ingin ku
ketahui darimu. Kau membimbingku layaknya seorang kakak. Membelaku saat yang lain
menertawakanku.
Kita tumbuh bersama saling bertukar cerita dan tertawa bersama.
Bukankah masa itu sungguh menyenangkan? Mengapa mesti hilang? Mengapa semakin
dewasa terasa hambar? Dimana keluguan saat kita masih kecil dulu? Apakah
bertambah dewasa berarti semakin banyak yang akan hilang? Tidak. Ini rasanya
tak adil. Aku hanya ingin kita seperti kakak dan adik. Tak bolehkah itu?
Bukankah dari awal kita sudah seperti itu? Mengapa harus menjauh? Mengapa sekarang
seperti dua orang yang tidak saling mengenal? Aku tak peduli orang lain menilai
seperti apa. Karena yang sesungguhnya tau apa yang terjadi diantara kita, bukan
mereka. Yah, mungkin kau peduli itu. Tapi, aku merindukan kita yang dulu... tak
bisakah kita tua bersama? Hidup berdampingan dan saling mengasihi?